Penulis teringat mendiang Soedjatmoko, eks Dubes kita di PBB, eks Rektor Universitas PBB di Tokyo dan salah seorang intelektual kita yang dihormati orang. Ia mengumumkan menyaksikan 3 kategori kerohanian/sufisme yang ada di tanah air kita. Pertama, sufisme kaum Katolik yang berujung ke ragam Ordo yang disahkan oleh Gereja. Ada yang menggabungkan spiritualitas dan ilmu, seperti kaum Jesuit; adapula yang menyampaikan perlunya “tindak langsung” untuk menolong mereka yang miskin dan menderita, seperti kaum Fransiskan. Bahkan adapula yang bertapa bisu tak pernah berbicara ke orang lain, mereka cuma menguping saja apa yang dikatakan orang tanpa menjawab. Seluruh macam sufisme itu oleh DR. Soedjatmoko dinamakan ‘kebon raya’ (botanical garden), yang pohon-pohonya dibentuk begitu rupa oleh tukang kebon sampai berbentuk macam-macam. Sebab itulah, orang suka dengan kebon raya, sebab pohon-pohonnya amat teratur dan terpelihara rapi.
Kerohanian kedua, menurut DR. Soedjatmoko ialah Sufisme Islam. Bermacam-macam gerakan sufi muncul dari satu mata air yaitu keyakinan mutlak akan kebenaran Allah SWT dan Rasullulah SAW. Sufisme Islam diibaratkannya seperti air yang mengalir dari sebuah sumber mata air di gunung, yang terus mengaliri jenjang-jenjang sawah sampai ke laut. Karenanya ia menyamakan sekian beberapa gerakan sufi itu selaku bidang-bidang sawah yang memperoleh air dari satu petak ke petak lain, tetapi berasal dari satu sumber.
Pemetakan (teras siring) itu memang membikin sekian beberapa sawah itu terairi dengan baik, dan kalau dilihat dari jauh jenjang-jenjang sawah itu tampak indah. Karenanya, keseluruhan gerakan tarekat memang mengagumkan tetapi saat sebuah tarekat diteliti gerak-geraknya, beberapa juga pertanyaan muncul tanpa ada respon yang pasti. Bahkan Nahdlatul Ulama yang didirikan di tahun 1926, dan dinilai merupakan wakil dari bagian gerakan penyebar ajaran Islam, memberikan imprimatur (pengesahan) atas 45 buah ajaran-ajaran sufi. Gerakan tarekat yang diakui “ Al-Thariqoh Al-Mu’tabarah ” itu berkumpul dalam sebuah organisasi bernama “Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah ” yang Saat ini dipimpin oleh Habib Luthfi dari Pekalongan, tanpa ada larangan bergerak sendiri-sendiri bagi masing-masing tarekat itu.
Sementara itu, DR Soedjatmoko mengibaratkan aliran kepercayaan kejawen seperti semak-semak bertanaman perdu yang tak dapat tumbuh tinggi dan juga tak beraturan. Ada semak-semak yang tebal dan rapat tanamannya, dan ada pula semak-semak yang bertanaman jarang. Itu seluruh sebab tak ada yang mengatur. Tetapi diantara kumpulan untuk kumpulan semak-semak itu, tumbuh menjulang tinggi di sana-sini pohon-pohon yang tinggi. Nah, pohon untuk pohon tinggi yang tak beraturan tempatnya itu, melambangkan guru-guru atau para bikhu yang memimpin berbagai gerakan kepercayaan kejawen tersebut. Ketiga gambaran di atas itu melukiskan dengan tepat berbagai gerakan kerohanian yang ada dan hidup di negeri kita. Memang masih beberapa gerakan kerohanian yang tak masuk dalam “pembidangan” yang dibuat mendiang Soedjatmoko itu, akan tetapi terang bahwa ia mencoba memahami berbagai corak gerakan kerohanian yang ada di negeri kita.
Orang boleh tak sama dengan mendiang Soedjatmoko, tapi mereka mesti mengakui kategorisasi yang dilakukannya atas berbagai gerakan kerohanian yang kita miliki dewasa ini. Kurang atau lebihnya, tentu saja tokoh intelektual kita itu tak berkeberatan akan kehadiran pandangan-pandangan lain, asal dapat dipertanggung jawabkan/dipertahankan secara argumentatif. Di sinilah terletak sumbangan pemikiran mendiang tokoh tersebut, yang tak lain ialah ipar Sutan Sjahrir, yang beberapa kali jadi Perdana Menteri kita dan merupakan salah seorang pendiri negara ini. Kedua tokoh itu bahkan berprinsip dari perbedaanlah akan muncul kebenaran.
*****
Kita sekarang berada pada era baru dari keberagaman spiritualitas yang kita miliki. Ada kerohanian yang menuntut kesetiaan untuk melakukan ajaran-ajaran formal agama. Dari mereka juga lahir organisasi-organisasi agama yang menuntut dilaksanakannya ajaran-ajaran agama secara resmi/formal oleh negara. Tuntutan untuk tuntutan dari mereka, pada akhirnya akan berujung pada pemberlakuan ajaran agama tertentu dalam kehidupan bernegara kita. Dengan kata lain, tuntutan pemberlakuan syari’ah (hukum agama) dalam kehidupan bersama-sama yang kita miliki ini bukan tuntutan main-main, sebab hal itu dikemukakan oleh orang-orang –yang menurut penilaian kalangannya- hidup jujur dan ikhlas untuk kepentingan agama Islam yang mereka cintai. Hal ini telah berjalan begitu jauh, sehingga beberapa DPRD dan pemerintah daerah melaksanakan adopsi atasnya.
Pemerintah atau pihak eksekutif sudah membahasnya dengan seksama dalam Sidang Kabinet kira-kira sebulan sebelum penulis dilengserkan. Dalam sidang itu, kabinet mengambil keputusan bahwa peraturan untuk peraturan kearah
syari’atisasi itu dinilai tak sah kalau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Cuma saja siapakah yang berhak memberikan tafsiran seperti itu? Tentunya -seperti juga terjadi di negeri-negeri lain, Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga tertinggi di bidang yudikatif yang berwenang untuk itu. Tetapi bagaimana halnya dengan MA yang kita miliki sekarang ini ? Penulis menilai mereka tak mempunyai pendirian pasti mengenai apa yang benar dan tak menurut Undang-Undang Dasar. Kalau memutuskan saja tak berani, bagaimana pula memberikan penafsiran?
Sebab itu kita sekarang berada dalam persimpangan jalan yang tak terang, yang pada akhirnya mengakibatkan ketakutan di berbagai pihak, termasuk dari golongan minoritas etnis dan agama. Ketidakpastian hukum itu, juga jadi karena utama bagi langkanya investasi modal asing di negeri kita. Kita berkeinginan pemilu legislatif dan pemilu Presiden di tahun akan datang, akan menyudahi ketidakpastian seperti ini, sehingga kita dapat kembali ‘bekerja’ seperti dahulu, dengan antusias dan tekad baru yang diperlukan untuk mengatasi krisis multi-dimensi yang menghinggapi kita waktu ini. Tentu saja, mesti ada kejelasan siapa yang akan memimpin tahap mengatasi berbagai macam krisis tersebut, sebab rakyat telah seperti ini jauh terpuruk kehidupan mereka.
*****
Dari gambaran seperti dicontohkan mendiang DR. Soedjatmoko di atas, dapat disimpulkan bahwa model hidup seragam, seperti yang diajarkan pemerintahan Orde Baru tak sesuai dengan kebutuhan kita. Sikap penyeragaman seperti itu, amat berlawanan dengan spiritualitas/kerohanian yang kita miliki. Malah keberagamanlah yang kita perlukan. Sebab itulah, penulis lalu menekankan perlunya pemisahan antara agama dan negara, itupulah yang membikin penulis menentang pemberlakuan pendidikan agama oleh negara. Kalaupun negara “mesti” membantu pendidikan bagian agama melalui sekolah-sekolah, itu pun cuma selaku sokongan yang tak mengikat yang sesuai dengan kebutuhan warga yang bersangkutan. Negara “tak wajib” menyelenggarakan pendidikan agama, sebab akhirnya cuma akan mementingkan “versi ajaran yang disetujui negara.”
Akibat dari itu, maka akan timbul bukannya keberagaman yang seperti kita kehendaki. Memang sulit memahami dan merasakan kebutuhan akan keberagaman, selama kita sendiri tak menyakini dengan sesungguhnya maksud Undang-Undang Dasar kita sendiri. Sulit menegakan kebenaran di tengah-tengah keberagaman pandangan seperti di negeri kita waktu ini, bukan?
Jakarta, 3 Februari 2004 ( Kedaulatan Rakyat)
Source by Ahmad Naufal