Selamat Ulang Tahun ke-74 Ulama Panutanku "KH Mustofa Bisri" -->

Selamat Ulang Tahun ke-74 Ulama Panutanku "KH Mustofa Bisri"

Sunday, August 12, 2018, August 12, 2018

Selamat Ulang Tahun ke-74 Ulama Panutanku "KH Mustofa Bisri"

KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), kiai, sastrawan dan sosok nasionalis yang kini sedang dibutuhkan Indonesia, Sabtu tanggal 11 Agustus 2018 berusia 74 tahun. Sejumlah sahabat merayakannya di Semarang dengan arak-arakan karya puisi, cerpen dan senirupa.
Bersama Harian Suara Merdeka, sekumpulan sastrawan dan tokoh budayawan yang terdiri atas Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Sutardji Calzoum Bachri, D Zawawi Imron, Sudjiwo Tedjo, Sitok Srengenge, Najwa Shihab, Djoko Pinurbo, Nasirun, Timur Suprabana Prie GS dan puluhan seniman lain, akan mengelu-elukan Gus Mus dalam acara Mata Air Gus Mus ~ Milad 74 Tahun.
Setiap berulang tahun, yang terlihat sibuk justru orang lain. Empat tahun lalu ketika berulang tahun yang ke-70, serombongan orang yang mengaku “santri”-nya Gus Mus sowan ke rumah Rembang. Mereka meminta izin agar diperbolehkan merayakan milad Gus Mus yang ke-70 di Semarang. Mereka terdiri dari kalangan seniman, wartawan, utusan pejabat bahkan pengusaha.
Jika pemimpin Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin Rembang ini menjawab dengan senyuman, itu berarti masih menimbang. Begitu Gus Mus mulai tertarik ikut berbicara, berarti “Pak Kiai” berkenan.
Atas dukungan Harjanto Halim, pemilik perusahaan produk minuman, saya mengabadikan kehidupan Gus Mus ke dalam film dokumenter untuk ditayangkan. Pak Kiai tidak hanya tersenyum, malah memberi banyak masukan. Artinya, izin diberikan.
Di ulang tahunnya yang ke 74 ini, film pendek berjudul Gus Muslih dihadiahkan untuk perayaan acaranya. Gus Muslihdiangkat dari cerpen karya Gus Mus berjudul sama dan disutradarai Anto Galon, pemenang Police Movie Award tahun 2017.
“Berzikir bersama Inul”
Mengapa 74 tahun Gus Mus menjadi penting bagi kebudayaan Indonesia? Karena keberadaan sosok yang satu ini menjadi sangat relevan. Terutama di tengah hiruk-pikuk masyarakat dalam mencari posisi moral yang kabur dari tempatnya. Gus Mus menjadi tempat bertanya, namun ia tak pernah memberi statementpraktis mengenai politik kekuasaan yang memancingnya.
Ia terus merawat “mata air” dalam bentuk karya syiar dan karya seni. Melalui “Tweet Jumat” dan “GusMus Channel” (Youtube), ia tampil melengkapi karya sastra dan seni rupa yang ditekuninya.
Mata air karya yang ditebarkan Gus Mus terkesan sederhana namun menjanjikan fatwa. Di “Tweet Jumat”, antara lain ia tulis: “Manusia yang benar-benar beriman kepada Allah dan istiqamah, tidak akan pernah merasa khawatir dan sedih. Inilah kebahagiaan hakiki” (27 Juli 2018).
Itu yang normatif. Yang menyentil pun sesekali terpapar: “Soalnya bukan ‘setuju atau tidak setuju,’ tapi ‘sekubu atau tidak sekubu” (15 Juli 2018). Tagar “Tweet Jumat” ini tidak hanya digemari, tapi juga dinanti oleh ribuan orang.
Ia ada di mana-mana, megaktualisasikan Islam dengan gaya yang beda. Di “GusMus Channel” ia menunjukkan kelas sebagai ahli tafsir kitab suci yang berwawasan samudera. Dengan fasih akan kita lihat Gus Mus memaparkan kajian tafsir berbagai surat, mulai dari Al-Ibriz/ Albaqarah hingga kajian Kitab Tajul. Dalam tafsir hadist, ia sering bicara mengenai “Takdir Manusia” hingga “Amal Tergantung pada Niat”.
Di sisi lain, karya sastra menjadi kekuatan yang mengantar Gus Mus bergaul luas di masyarakat kebudayaan, utamanya sastra dan seni rupa. “Kesenian itu esensinya keindahan. Baik itu seni suara, seni rupa, seni sastra, semua bermula dari kekaguman atas keindahan yang diciptakan Tuhan,” tuturnya di film dokumenterHarmoni dalam Kebersamaan. Tidak heran muncul karya senirupa, cerita pendek dan puisi yang selalu diperbincangkan .
Ia pernah me-launchinglukisan Berzikir bersama Inul (2003) yang menghebohkan. Lukisan berukuran 60 X 70 cm itu menggambarkan 14 kiai tengah mengelilingi Inul yang sedang ‘ngebor.” Dipamerkan pertama kali di ruang Ash-Shofa Masjid Agung Al-Akbar Surabaya dan mendapat ancaman pembakaran masjid dari sekelompok pemuda. Bersamaan dengan itu ditulisnya pula puisi Negeri Daging. “Pesannya, marilah Indonesia berzikir, jangan melulu kita memburu daging.”
Mata air sastra
Karya-karya sastra Gus Mus sangat mendapatkan tempat di hati para santri generasi milenial. Puisi-puisinya viral di mana-mana. Kadang puisi iyu terbebas dari momentum; kadang dikaitkan dengan politik kekuasaan. Puisi Kau Ini Bagaimana, pernah dikaitkan dengan kampanye gubernur Ganjar Pranowo di Jawa Tengah.
“Kau ini bagaimana/ Kau bilang Tuhan sangat dekat/ Kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat…”
Ratusan puisi yang terjalin di album Sajak-sajak A. Mustofa Bisri(penyunting Ken Sawitri), terkesan jernih dan berdenting indah. Saya menemukan puisi Kepada Penyairyang sangat mengkritik tajam: “/Berhentilah menganyam-anyam maya/ mengindah-indahkan cinta/ membesar-besarkan rindu/ Berhentilah menyia-nyiakan daya/ memburu orgasme dengan tangan kelu./”
Atau, Rasanya Baru Kemarin,bagian bait yang memesona itu:“Daging sudah lebih tinggi harganya/ Dibanding ruh dan jiwa/ Tanda gambar sudah lebih besar pengaruhnya/ Dari bendera merah putih dan lambang garuda./”
Gus Mus juga menulis cerita pendek yang tidak hanya indah, namun juga mengesankan. Cerita pendek berjudul Gus Muslih yang difilmpendekkan itu, keluar dari logika Islami kebanyakan.
Gus Mus memulai dengan sebuah persoalan. Sorang kiai diisukan memelihara anjing padahal hukumnya haram. Namun Gus Muslih bersikukuh apa yang ia lakukan itu benar. Anjing itu ia temukan terkapar sekarat di tengah jalan, ketika panitia mengantarnya pulang dengan mobil selepas mengisi acara Halal Bi Halal. Gus Muslih merawat anjing itu sampai sembuh.
Ending cerita kemudian ditutup dengan ucapan:
“Alhamdulillah, setelah aku rawat beberapa hari, anak anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong, tetanggaku memintanya dan aku berikan dengan pesan agar dia merawatnya dengan baik.”
Mata air A Mustofa Bisripun terus mengalir. Ia berada di tengah-tengah persoalan masyarakat dan pertikaian kekuasaan. Namun ia tidak terjun di arena. Ia hanya menampilkan diri dengan syiar lembut dan karya-karya seni berkelas tinggi.
Selamat Milad ke 74, “Kiai Saking Rembang.” Panjang usia dan karyanya terus dinanti.

Handry TM, penulis adalah jurnalis dan penulis sastra. .Kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Semarang.
Sumber: beritagar.id

TerPopuler