Disunnahkan Selamatan Sebelum Berangkat Haji -->

Disunnahkan Selamatan Sebelum Berangkat Haji

Saturday, July 28, 2018, July 28, 2018

Disunnahkan Selamatan Sebelum Berangkat Haji

Tidak lama lagi musim haji tiba. Bertepatan dengan itu, sebagian saudara kita yang sudah mencukupi persyaratan dan mampu akan berangkat ke tanah suci. Di sana mereka akan menunaikan rukun kelima Islam.
Sebelum berangkat haji, mereka biasanya melakukan tasyakuran atau selamatan. Tradisi ini kelihatannya sudah membumi di Nusantara. Hampir di semua daerah ditemukan tradisi ini, meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Secara umum mereka menyebutnya walimah safar.
Istilah ini memang jarang ditemukan dalam litaratur fikih. Tapi sebenarnya ada istilah yang hampir mirip, yaitu naqi’ah. Hanya saja, istilah naqi’ah secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang balik dari perjalanan jauh semisal haji. Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara makan-makan. Naqi’ah ini bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya.
Al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat:
ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺍﻟﻨﻘﻴﻌﺔ ﻭﻫﻲ ﻃﻌﺎﻡ ﻳﻌﻤﻞ ﻟﻘﺪﻭﻡ ﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺮ ﻭﻳﻄﻠﻖ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﻌﻤﻠﻪ ﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺮ ﺍﻟﻘﺎﺩﻡ ﻭﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﻌﻤﻠﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻟﻪ
Artinya, “Disunahkan melangsungkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”
Pendapat ini didukung oleh hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah selepas pulang dari perjalanan, Beliau menyembelih unta atau sapi (HR Al-Bukhari). Dalil ini memperkuat kesunahan mengadakan selamatan setelah pulang dari perjalanan jauh. Selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya musafir dari bahaya perjalanan.
Demikian pula dengan selamatan sebelum haji. Hukumnya dapat disamakan dengan naqi’ah. Terlebih lagi, substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, do’a, baca Al-Qur’an, dan lain-lain. Kendati istilah walimah safar jarang ditemukan dalam literatur hadits maupun fikih, bukan berarti mengadakannya dianggap haram atau bid’ah tercela.
Al-ibraru bil musamma, la bil ismi, yang diperhatikan ialah substansi yang dinamai, bukan soal nama itu sendiri. Berdasarkan prinsip ini, yang menjadi acuan dalam menghukumi sebuah perbuatan ialah isi dan substansinya. Selama isi dan substansinya tidak bertentangan dengan syariat Islam, ia diperbolehkan sekalipun istilah atau penamaannya tidak ditemukan di masa Rasulullah SAW.
Terlebih lagi, dalam Madzhab Syafi’i, istilah walimah tidak hanya dikhususkan untuk pesta pernikahan. Istilah walimah mencakup semua perayaan yang diselenggarakan lantaran mendapat rezeki yang tidak terduga atau kebahagian tertentu. Maka dari itu, menurut Madzhab Syafi’i kesunahan mengadakan walimah tidak dibatasi hanya untuk nikah, tapi juga disunahkan pada saat bangun rumah, khitan, pulang dari perjalanan, dan lain-lain. Pendapat ini sebagaimana dikutip Al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah:
ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻳﺴﻦ ﺻﻨﻊ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﻛﻞ ﺣﺎﺩﺙ ﺳﺮﻭﺭ، ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﻟﻠﻌﺮﺱ ﺃﻭﻟﻠﺨﺘﺎﻥ ﺃﻭﻟﻠﻘﺪﻭﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﺫﻛﺮ
Artinya, “Madzhab Syafi’i mengatakan disunahkan menghidangkan makanan dan mengundang orang untuk memakannya pada setiap kejadian yang membahagiakan, baik saat pernikahan, nikah, kedatangan orang dari perjalanan, dan lain-lain.”
Merujuk pada pendapat di atas, tradisi walimah safar yang dilakukan masyarakat Nusantara sangat baik dilakukan. Pada saat itulah momen berbagi kepada sesama masyarakat atas kesempatan dan nikmat yang diberikan Allah SWT. Apalagi tidak semua orang yang diberikan kesempatan untuk berhaji.
Selain ajang silaturahmi dan sedekah, walimah safar merupakan bentuk rasa syukur atas peluang yang diberikan Allah SWT dan ajang meminta do’a kepada sanak-saudara supaya diselamatkan selama menjalani ibadah haji. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah/NU Online)

TerPopuler