Asmawi Memanen Uang
Asmawi gundah gulana. Ia harus membayar hutang yang jatuh
tempo. Jumlahnya Rp. 300.000,- jumlah itu sangat besar untuk ukuran waktu itu.
Hutang itu buat pembangunan masjid.
Asmawi sempat menangis saking sedihnya. Darimana ia bisa
memperoleh uang sebanyak itu? Pikirannya jadi buntu. Dia melapor ke Kiai Hamid.
“Laopo nangis sik onok yai, (mengapa menangis masih ada kiai)” beliau menghibur.
Lalu Kiai menyuruh menggoyang-goyangkan pohon kelengkeng di
depan rumah beliau. Daun-daun yang berguguran disuruh ambil, diserahkan kepada
Kiai Hamid. Beliau meletakan tangannya dibelakang tubuh, terus memasukannya ke
saku. Begitu dikeluarkan ternyata daun-daun di tangannya berubah menjadi uang
kertas.
Beliau menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng satunya
lagi. Daunnya diambil, terus tangan beliau dibawa kebelakang tubuh (punggung)
lalu dimasukkkan ke saku dan daun-daunnya sudah menjadi uang kertas. Setelah
dihitung ternyata jumlahnya Rp 225.000,- Alhamdulilah masih kurang Rp. 75.000,-
Tiba-tiba ada tamu datang memberi Kia Hamid Rp. 75.000,- jadi pas.
Tiba-tiba ada yang pulang
Suatu malam beliau pergi ke Madura bersama keluarga dalam
satu mobil. Beliau, Nyai Nafisah dan Gus Idris. Sampai di pelabuhan Tanjung
Perak, ternyata sudah 15 mobil yang antri. Sementara kapal yang hendak
mengangkut mereka belum datang, Kapal tersebut adalah kapal terakhir dalam
jadwal hari itu. Padahal satu kapal hanya bisa memuat 15 mobil. Kiai Hamid
menyuruh kang Said, sopir, tetap disitu. Eh, tahu-tahu mobil di depannya
memutar balik, mungkin tak sabar menunggu atau apa.
Masih cerita Gus Idris, Mahfuzh Hafizh Surabaya mau pergi
haji. Oleh Kiai Hamid ia dibekali 3 biji kurma. Disuruh menanam di Makkah.
Sebelum berangkat, temannya di Jakarta yang juga mau berangkat ke Makkah,
memaksa minta satu biji kurma tadi. Terpaksa diberikan. Di Makkah mahfuzh
mendapat musibah, ayah dan adiknya meninggal dunia. Sedangkan dari rombongan
temannya dari Jakarta tadi, ada seorang yang wafat di tanah suci.