Blogger Jateng

Waspadai Syahwat Politik Dalam Pilkada



Sejak berlakunya pemilihan langsung kepala daerah oleh rakyat yang terkenal dengan singkatan pilkada, banyak bupati memiliki syahwat politik yang menggebu-gebu untuk memperpanjang kekuasaannya (menjadi dua periode) atau ingin naik kelas alias maju sebagai calon gubernur dalam pemilihan gubernur.
Dalam hal ini, modal besar harus disiapkan karena hampir semua pilkada diwarnai politik uang dalam berbagai bentuk. Terkait hal tersebut, merebak rumor bahwa banyak bupati melakukan ”pemerasan” terhadap daerahnya untuk memperoleh modal yang akan dipakai berlaga di pemilihan bupati berikutnya atau pemilihan gubernur.
Jika rumor tersebut ternyata menjadi kenyataan, syahwat politik bupati bisa menjadi biang korupsi di daerah. Karena itu, syahwat politik bupati layak diwaspadai. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam rangka mewaspadai syahwat politik bupati. Pertama, pengawasan intensif di semua bidang kedinasan perlu dilakukan sehingga setiap muncul kejanggalan akan segera dapat dideteksi dan diangkat ke ruang publik agar masyarakat bisa ikut mengawasinya.
Misalnya, apakah dinasdinas menghabiskan anggaran daerah di luar porsi atau malah cenderung boros dan banyak bocornya? Dalam hal ini pospos anggaran di dinas-dinas harus dipantau dengan cermat. Jangan biarkan kepentingan daerah dikorbankan untuk mengobarkan syahwat politik bupati. Kedua, cermati perilaku politik bupati, apakah sibuk melakukan pencitraan saja ataukah betul-betul serius membangun daerah.
Dalam hal ini, jangan terkecoh programprogram pragmatis yang seolah- olah populis tapi sebenarnya negatif. Misalnya, jangan mudah memuji program bedah rumah untuk rakyat miskin yang hanya dilakukan untuk pencitraan, karena rumah yang dibedah hanya beberapa, padahal di daerahnya banyak rumah yang layak dibedah.
Program demikian selain tidak efektif juga justru bisa menimbulkan kecemburuan sosial yang berdampak buruk bagi kedamaian masyarakat. Ketiga, cermati pembangunan infrastruktur yang cenderung boros atau asal untung tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, bupati gemar membangun gedung-gedung yang kurang dibutuhkan masyarakat, atau terus-menerus melakukan bongkar pasang trotoar yang nyata-nyata merupakan pemborosan dana.
Biasanya, pembangunan yang terkesan asal-asalan juga berpotensi korup dan justru disukai bupati yang hendak mengeruk banyak uang untuk modal politiknya menuju pertarungan di tingkat provinsi. Keempat, cermati kebijakan yang cenderung memeras masyarakat. Misalnya, semua murid dan guru diwajibkan memakai seragam tertentu yang harganya jauh lebih mahal dibanding harga pasaran.
Biasanya di balik kebijakan demikian yang paling diuntungkan memang bupati. Selama ini, pemerasan seperti itu sangat marak di sejumlah daerah jika bupatinya memiliki syahwat politik yang berkobarkobar. Seperti bupati ingin berkuasa selama dua periode, ketika sudah berkuasa di periode pertama maka harus bisa mempertahankan kekuasaannya pada periode kedua sehingga membutuhkan banyak modal politik.
Kelima, cermati setiap rotasi jabatan di daerah. Mungkin bupati memilih orang-orang tertentu yang sebenarnya diragukan kapabilitasnya atau ada unsur kolusi dan nepotisme. Bisa juga rotasi jabatan tidak adil karena bupati merekrut orang-orang dekatnya saja. Sudah bukan rahasia lagi, hampir semua jabatan di daerah memang bisa saja dijualbelikan. Istilah populernya: setiap jabatan ada maharnya.
Dalam hal ini, bupati bagaikan pedagang yang berkuasa menentukan harga jabatan di bawahnya, lantas yang berminat bisa menawar, sedangkan siapa yang menawar paling tinggi berpotensi menang alias berhasil memperoleh jabatan. Keenam, cermati kecenderungan mencari pinjaman untuk membangun daerah.
Misalnya bupati memaksakan kehendak ingin membangun infrastruktur dengan dana pinjaman sehingga daerah akan terbebani utang yang menggunung. Lazimnya bupati yang punya syahwat politik berkobar-kobar pasti memiliki lembaga keuangan semacam bank perkreditan rakyat. Dalam hal ini, jika daerah hendak meminjam uang untuk membangun maka akan meminjam kepada lembaga keuangan milik bupati sendiri.
Ketujuh, cermati hubungan bupati dengan sejumlah kontraktor yang menggarap pembangunan infrastruktur daerah. Dalam hal ini, yang mudah diperhatikan adalah apakah hasil pembangunan infrastruktur cukup baik kualitasnya ataukah sebaliknya sangat buruk? Harus dicermati juga, kebocoran terbesar anggaran daerah memang berada di sektor pembangunan infrastruktur, karena proyek-proyeknya dilelang.
Sedangkan pemenang lelang lazimnya adalah orangorang dekat bupati sendiri. Akibatnya, hasilpembangunanpasti sangat buruk sehingga cepat rusak dalam hitungan bulan. Kedelapan, cermati kooptasi politik di daerah. Misalnya, bupati merangkul semua parpol dan semua lembaga negeri dan swasta untuk bersama-sama membangun daerah, tapi banyak indikasi korup berlangsung masif.
Dalam hal ini, banyak bupati terkesan seperti raja yang sangat berkuasa dan tak ada yang mampu menyainginya jika telah mampu melakukan kooptasi politik secara total di daerahnya. Kooptasi politik boleh dianggap biang korupsi berjamaah.
Ironisnya, kooptasi politik sering dianggap hal terbaik untuk membangun kebersamaan dan kerukunan, padahal tanpa lembaga yang bisa melakukan kontrol secara independen korupsi bersama-sama semakin masif dan sering terlambat diproses hukum. Jika indikasi korupsi terkait syahwat politik bupati sudah terlihat jelas, selanjutnya bisa dilaporkan ke pihak berwenang agar proses hukum bisa segera dituntaskan. Bupati korup lebih baik masuk penjara daripada berkuasa lebih lama lebih-lebih di level lebih tinggi.
Cabang KPK
Untuk mewaspadai syahwat politik di daerah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) layak membuka cabang di setiap kabupaten atau kota. Selain itu, KPK perlu memperkuat kinerjanya untuk membersihkan daerah dari korupsi. Dengan adanya kantor cabang KPK di daerah pejabat yang hendak melakukan korupsi tentu akan berpikir ulang.
Bisa pula KPK dikembangkan seperti kepolisian yang memiliki kantor di tingkat kabupaten dan kecamatan. Jika dana untuk mengembangkan KPK seperti itu belum mampu disediakan negara, lembaga swadaya masyarakat di masing-masing daerah yang peduli terhadap upaya pemberantasan korupsi mungkin bias membantu, setidaknya menyediakan tenaga relawan antikorupsi.
Untuk membuka cabang KPK di setiap daerah, tentu saja butuh payung hukum. Karena itu, regulasi sebagai payung hukumnya bisa segera dibuat dan diberlakukan. Wacana ini tentu bukan mengada-ada jika dikaitkan dengan kondisi darurat korupsi di negeri ini yang harus segera diatasi. Jika sudah punya kantor cabang di setiap daerah, KPK perlu bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi, sehingga kondisi darurat korupsi menjadi tinggal kenangan di negeri ini.(/KoranSindo)
___________
*Wakil Rektor III Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo Jawa Tengah