Blogger Jateng

Tanggapan Syekh Ibnu Hajar Tentang bid'ah Puasa Rajab














Sebagian kalangan menganggap bahwa puasa di bulan Rajab adalah bid’ah. Mereka berdalih bahwa hadits yang menerangkan tentang puasa Rajab tidak bisa dibuat dalil. Mereka menganggap tradisi berpuasa di bulan Rajab ini adalah terlarang. Beberapa syubuhat (propaganda) mereka lancarkan di berbagai media untuk menghentikan tradisi berpuasa Rajab yang telah turun temurun diakui oleh para kiai dan ajengan di Nusantara. Benarkah puasa Rajab dilarang oleh agama?


“Hadits-hadits tentang puasa bulan Rajab adalah maudlu’ (palsu), al-Imam al-Nawawi mengatakan hadits maudlu’ tidak bisa diamalkan. Sedangkan para huffazh sepakat bahwa hadits tersebut palsu.”
Dengan argumen tersebut, secara frontal ia mengharamkan dan membid’ahkan masyarakat setempat yang menjalankan puasa Rajab. Hal ini membuat masyarakat resah atas fatwa haram tersebut, hingga akhirnya persoalan tersebut dihaturkan kepada Syekh Ibnu Hajar al-Haitami untuk memberikan solusi jawaban atas fatwa tersebut.



Jawaban Syekh Ibnu Hajar al-Haitami atas fatwa bid’ah berpuasa Rajab tersebut setidaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, memang betul terdapat beberapa hadits puasa Rajab yang maudlu’ (palsu), hanya saja para ulama dalam menetapkan kesunahan berpuasa Rajab sama sekali tidak berpegangan pada hadits tersebut. Beliau menegaskan:
ﻧَﻌَﻢْ ﺭُﻭِﻱَ ﻓﻲ ﻓَﻀْﻞِ ﺻَﻮْﻣِﻪِ ﺃَﺣَﺎﺩِﻳﺚُ ﻛَﺜِﻴﺮَﺓٌ ﻣَﻮْﺿُﻮﻋَﺔٌ ﻭَﺃَﺋِﻤَّﺘُﻨَﺎ ﻭَﻏَﻴْﺮُﻫُﻢْ ﻟﻢ ﻳُﻌَﻮِّﻟُﻮﺍ ﻓﻲ ﻧَﺪْﺏِ ﺻَﻮْﻣِﻪِ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣَﺎﺷَﺎﻫُﻢْ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻋَﻮَّﻟُﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗَﺪَّﻣْﺘﻪ ﻭَﻏَﻴْﺮﻩ
“Betul demikian, terdapat banyak hadits palsu yang menerangkan keutamaan berpuasa Rajab, hanya saja para imam kita dan yang lain tidak berpedoman pada hadits-hadit tersebut, dan sungguh tidak mungkin bila hal tersebut tetjadi. Akan tetapi mereka berpegangan pada argumen yang telah saya sampaikan dan dalil-dalil lainnya.”
(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983, juz 2, halaman 53)
Kedua, kesunahan puasa Rajab sudah tercakup dalam hadits yang menganjurkan berpuasa secara umum, seperti hadits qudsi:
ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻛُﻞُّ ﻋَﻤَﻞِ ﺍﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻟﻪ ﺇﻟَّﺎ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ
“Allah berfirman, seluruh amal Ibnu Adam diperuntukan kepadanya kecuali puasa.”
Atau hadits Nabi tentang puasa Daud:
ﺇﻥَّ ﺃَﻓْﻀَﻞَ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺻِﻴَﺎﻡُ ﺃَﺧِﻲ ﺩَﺍﻭُﺩ ﻛﺎﻥ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻭَﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻳَﻮْﻣًﺎ
“Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasanya saudaraku Daud, ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari berikutnya.”
Dalam hadits tersebut, Rasulullah tidak mengecualikan bulan tertentu, termasuk Rajab. Ibnu Hajar menegaskan:
ﻭﻛﺎﻥ ﺩَﺍﻭُﺩ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻣﻦ ﻏَﻴْﺮِ ﺗَﻘْﻴِﻴﺪٍ ﺑِﻤَﺎ ﻋَﺪَﺍ ﺭﺟﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺸُّﻬُﻮﺭِ
“Dan Nabi Daud berpuasa tanpa ada batasan pengecualian di bulan Rajab.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz 2, halaman 53)
Ketiga, kesunahan puasa Rajab sudah tercakup dalam hadits yang menganjurkan berpuasa di bulan-bulan haram. Dan sudah sangat maklum, Rajab termasuk dari bulan-bulan haram, bahkan tergolong yang paling mulia di antara bulan-bulan haram tersebut. Seperti dalam hadits riwayat Abi Daud, Ibnu Majah dan lainnya:

ﻋﻦ ﺍﻟْﺒَﺎﻫِﻠِﻲِّ ﺃَﺗَﻴْﺖ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﻘُﻠْﺖ ﻳﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟﺬﻱ ﺃَﺗَﻴْﺘُﻚ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﻟﻲ ﺃَﺭَﻯ ﺟِﺴْﻤَﻚ ﻧَﺎﺣِﻠًﺎ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣﺎ ﺃَﻛَﻠْﺖ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﺑِﺎﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﻣﺎ ﺃَﻛَﻠْﺘﻪ ﺇﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺃَﻣَﺮَﻙ ﺃَﻥْ ﺗُﻌَﺬِّﺏَ ﻧَﻔْﺴَﻚ ﻗُﻠْﺖ ﻳﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇﻧِّﻲ ﺃَﻗْﻮَﻯ ﻗﺎﻝ ﺻُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻭَﺻُﻢْ ﺍﻟْﺄَﺷْﻬُﺮَ ﺍﻟْﺤُﺮُﻡَ
“Dari al-Bahili, aku mendatangi Nabi, dan berkata: ‘Ya Rasul, aku adalah laki-laki yang mendatangimu di tahun yang lalu.’ Rasul menjawab, ‘Aku lihat badanmu semakin kurus.’ Ia menjawab, ‘Ya Rasul, aku tidak makan di siang hari, aku makan hanya di malam hari.’ Rasul berkata, ‘Siapa yang memerintahmu untuk menyiksa dirimu?’ Aku berkata, ‘Ya Rasul sesungguhnya aku kuat (berpuasa).’ Rasul berkata, ‘Berpuasa di bulan sabar dan tiga hari setelahnya, berpuasalah di bulan-bulan mulia.”
ﻭﻓﻲ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﺻُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻭَﻳَﻮْﻣًﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷَﻬْﺮٍ ﻗﺎﻝ ﺯِﺩْﻧِﻲ ﻓﺈﻥ ﻟﻲ ﻗُﻮَّﺓً ﻗﺎﻝ ﺻُﻢْ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﻗﺎﻝ ﺯِﺩْﻧِﻲ ﻓﺈﻥ ﻟﻲ ﻗُﻮَّﺓً ﻗﺎﻝ ﺻُﻢْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻭَﺻُﻢْ ﻣﻦ ﺍﻟْﺤُﺮُﻡِ ﻭَﺍﺗْﺮُﻙْ ﺻُﻢْ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺮﻡ ﻭَﺍﺗْﺮُﻙْ ﻭﻗﺎﻝ ﺑِﺄُﺻْﺒُﻌِﻪِ ﺍﻟﺜَّﻠَﺎﺙِ ﻳَﻀُﻤُّﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﻳُﺮْﺳِﻠُﻬَﺎ
“Dalam riwayat lain disebutkan, berpuasalah di bulan sabar dan satu hari di setiap bulannya. Al-Bahili menjawab, ‘Tambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih sanggup.’ Rasul berkata, ‘Berpuasalah dua hari.’ Al-Bahil berkata, ‘Tambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih sanggup.’ Rasul berkata, ‘Berpuasalah tiga hari setelahnya, berpuasalah dari bulan haram, tinggalkanlah dari bulan haram, berpuasalah dari bulan haram dan tinggalkanlah darinya.’ Nabi berisyarah dengan ketiga jarinya seraya mengumpulkan dan melepaskannya.”
Setelah mengutip hadits di atas, Syekh Ibnu Hajar menegaskan:
ﻓَﺘَﺄَﻣَّﻞْ ﺃَﻣْﺮَﻩُ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑِﺼَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺄَﺷْﻬُﺮِ ﺍﻟْﺤُﺮُﻡِ ﻓﻲ ﺍﻟﺮِّﻭَﺍﻳَﺔِ ﺍﻟْﺄُﻭﻟَﻰ ﻭَﺑِﺎﻟﺼَّﻮْﻡِ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺮِّﻭَﺍﻳَﺔِ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ ﺗَﺠِﺪﻩُ ﻧَﺼًّﺎ ﻓﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﺑﺼﻮﻡ ﺭَﺟَﺐ ﺃﻭ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮْﻡِ ﻣﻨﻪ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟْﺄَﺷْﻬُﺮِ ﺍﻟْﺤُﺮُﻡِ ﺑَﻞْ ﻫﻮ ﻣﻦ ﺃَﻓْﻀَﻠِﻬَﺎ
“Renungkanlah perintah Nabi dengan berpuasa penuh di bulan haram dalam riwayat pertama, dan berpuasa di sebagian hari bulan haram dalam riwayat kedua, maka engkau akan menemukan dalil nash yang tegas tentang anjuran berpuasa di sepanjang bulan Rajab atau beberapa hari darinya, sebab Rajab termasuk bulan-bulan mulia, bahkan termasuk yang paling utama di antara bulan-bulan mulia tersebut.”
(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz.2, hal.53)
Keempat, terdapat beberapa hadits dla’if yang menganjurkan berpuasa di bulan Rajab secara khusus, di antaranya hadits riwayat al-Baihaqi dari sahabat Anas:
ﺇﻥَّ ﻓﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻧَﻬْﺮًﺍ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟﻪ ﺭَﺟَﺐٌ ﺃَﺷَﺪُّ ﺑَﻴَﺎﺿًﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻠَّﺒَﻦِ ﻭَﺃَﺣْﻠَﻰ ﻣﻦ ﺍﻟْﻌَﺴَﻞِ ﻣﻦ ﺻَﺎﻡَ ﻣﻦ ﺭَﺟَﺐٍ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﺳَﻘَﺎﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻨَّﻬْﺮِ
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat sungai yang disebut Rajab, lebih putih dari susu, lebih manis dari madu. Barang siapa berpuasa dari bulan Rajab satu hari, maka Allah kelak memberinya minum dari sungai tersebut.”
Hadits ini tergolong hadits mauquf atas Abi Qilabah, seorang tabi’in.
Dalam hadits lain disebutkan:
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻢ ﻳَﺼُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺇﻟَّﺎ ﺭَﺟَﺐَ ﻭَﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ
“Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi tidak berpuasa setelah Ramadlan kecuali di bulan Rajab dan Sya’ban.”
Sanad hadits ini adalah lemah (dla’if).
Meski tergolong dla’if, namun hadits di atas dapat dipakai dalam konten yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadlail al-a’mal), dan berpuasa Rajab termasuk dalam konteks ini. Syekh Ibnu Hajar menegaskan:
ﻭﻗﺪ ﺗَﻘَﺮَّﺭَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴﻒَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮْﺳَﻞَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨْﻘَﻄِﻊَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻌْﻀَﻞَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻮْﻗُﻮﻑَ ﻳُﻌْﻤَﻞُ ﺑﻬﺎ ﻓﻲ ﻓَﻀَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﺇﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﺷَﻚَّ ﺃَﻥَّ ﺻَﻮْﻡَ ﺭَﺟَﺐٍ ﻣﻦ ﻓَﻀَﺎﺋِﻞِ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﻓَﻴُﻜْﺘَﻔَﻰ ﻓﻴﻪ ﺑِﺎﻟْﺄَﺣَﺎﺩِﻳﺚِ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴﻔَﺔِ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻨْﻜِﺮُ ﺫﻟﻚ ﺇﻟَّﺎ ﺟَﺎﻫِﻞٌ ﻣَﻐْﺮُﻭﺭٌ
“Dan merupakan ketetapan bahwa hadits dla’if, mursal, munqathi’, mu’dlal dan mauquf dapat dipakai untuk keutamaan amal menurut kesepakatan ulama. Tidak diragukan lagi bahwa berpuasa Rajab termasuk dalam keutamaan amal, maka cukup memakai hadits-hadits dla’if dan sesamanya. Dan tidak mengingkari kesimpulan ini kecuali orang bodoh yang tertipu.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz.2, halaman 53)
Demikian penjelasan mengenai tanggapan atas syubuhat (propaganda) mengenai pelarangan puasa Rajab. Klaim bid’ah atau haram atas tradisi berpuasa Rajab tidak memiliki dasar yang kuat, bahkan menurut Syekh Ibnu Abdissalam sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Hajar, pihak yang berfatwa demikian adalah orang bodoh. Ditegaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:
ﻭَﺍَﻟَّﺬِﻱ ﻳَﻨْﻬَﻰ ﻋﻦ ﺻَﻮْﻣِﻪِ ﺟَﺎﻫِﻞٌ ﻣَﻌْﺮُﻭﻑٌ ﺑِﺎﻟْﺠَﻬْﻞِ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟِﻤُﺴْﻠِﻢٍ ﺃَﻥْ ﻳُﻘَﻠِّﺪَﻩُ ﻓﻲ ﺩِﻳﻨِﻪِ
“Orang yang melarang berpuasa Rajab adalah orang bodoh yang dikenal kebodohannya. Dan tidak halal bagi orang muslim untuk mengikutinya dalam urusan agama.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz.2, halaman 53).
Semoga penjelasan ini bermanfaat. Dan mari kita senantiasa berhati-hati untuk gegabah memvonis bid’ah atau haram, terlebih tradisi yang sudah diamini oleh banyak ulama secara turun temurun tanpa ada pengingkaran dari mereka. Wallahu a’lam.